Pemuda Panca Marga adalah Organisasi kemasyarakatan Pemuda yang bersifat kekeluargaan dan merupakan wadah berhimpun bagi Putera-Puteri Veteran Republik Indonesia beserta keturunannya yang memiliki hubungan kesejarahan, aspirasi, dan koordinasi dengan Legiun Veteran Republik Indonesia dan merupakan bagian dari Keluarga Besar TNI / Polri

Rabu, 16 Oktober 2013

Ini kisah nestapa nenek Astuti, veteran perang dari Surabaya

Reporter : Moch. Andriansyah
Nenek Astuti veteran perang dari Surabaya. ©2013 Moch Andriansyah 
Merdeka.com - Pasca tumbangnya Orde Lama hingga enam kali Presiden RI berganti wajah, nasib veteran BKR Laut, Letnan dua (Letda) Soegeng Setijoso dan istrinya Astusti, yang juga veteran Palang Merah Indonesia (PMI), begitu miris. Dengan uang pensiun yang tak seberapa, keduanya menghidupi empat anak yang mengalami keterbelakangan mental.

Mendengar informasi ini, merdeka.com makin tergelitik untuk mencari tahu kehidupan sepasang veteran perang kemerdekaan tersebut. Setelah hampir seharian mencari informasi keberadaan keduanya, akhirnya diketahui kalau mereka tinggal di Jalan Kalibokor Kencana II/12, Surabaya, Jawa Timur.

Di sebuah gang sempit yang hanya cukup untuk dilalui dua kendaraan roda dua saja itu, keduanya tinggal. Sebelumnya, tak ada yang tahu kalau Soegeng dan Astuti adalah bekas pejuang kemerdekaan. Mereka hanya dikenal sepasang tua yang memiliki empat anak dengan keterbelakangan mental.

Sayangnya, saat ditemui Letda Soegeng sudah almarhum. Dia meninggal sejak enam tahun silam. Dan tinggalah Astuti dengan empat anaknya. Dia hidup dari uang pensiunnya yang tak seberapa. "Pak Soegengnya sudah meninggal enam tahun lalu. Sekarang ya tinggal istrinya sama satu orang anaknya. Dua anaknya lagi dititipkan di Liponsos, satunya lagi sudah meninggal saat berada di Liponsos," kata istri Ketua RW VII Kalibokor Kencana, Nur.

Diceritakan Nur dan beberapa warga setempat, dulu sebelum Soegeng dan Astuti diketahui sebagai mantan pejuang kemerdekaan, mereka tinggal di gubuk reot. Baru dua tahun lalu, tepatnya pada 2011, rahasia mereka sebagai veteran perang terbongkar. Saat itu, Soegeng sudah wafat.

"Mereka hidup susah. Bahkan, untuk makan saja susah. Pernah suatu ketika, mereka sudah tidak punya uang untuk makan. Empat anaknya berada di depan rumah sambil membawa rantang plastik meminta makan kepada setiap orang yang lewat," kata Nur bercerita.

Kejadian yang tak pernah terjadi saat mendiang Letda Soegeng masih hidup itu, makin membuat warga sekitar bertanya-tanya. Bahkan, kondisi rumah milik veteran perang itupun tampak kumuh. Kotor dan bau yang sangat menyengat hidung tetangga kanan kiri, juga bagi siapa saja yang lewat di depan rumah.

Ketua RW yang diminta untuk mengecek kondisi dan mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di dalam rumah itu, akhirnya menuruti permintaan warganya. "Sekarang, sudah bersih. Dulu, jangankan mau masuk rumah, lewat di depan rumahnya saja, nggak kuat. Baunya minta ampun. Mulai bau kotoran sampai bau kencing. Pokonya pingin muntah kalau mau lewat di depan rumahnya," terang warga sekitar.

"Ya bagaimana tidak bau, wong ketika saya masuk rumahnya itu, waduuuhh, sampah bekas bungkus makanan sudah penuh satu rumah. Mereka kencing di situ, buang air besar juga di situ, bahkan dioles-oleskan ke dinding juga. Tidak pernah mandi juga. Ya mau gimana lagi, wong mentalnya kayak begitu. Ibunya juga sudah tua," sahut Nur.

Mengetahui kondisi yang amat parah itu, Nur meminta bantuan kelurahan dan pihak kecamatan, yang akhirnya ikut datang ke gubuk almarhum Soegeng dan Astuti. Bahkan, para perangkat kampung juga membawa dokter dari puskesmas setempat untuk memeriksa kondisi kesehatan seisi rumah.

Warga akhirnya membantu membersihkan gubuk reot milik Soegeng dan Astuti. Saat itu lah, salah satu pegawai kecamatan terkejut melihat 'Surat Tanda Kehormatan Presiden Republik Indonesia' usang yang terbingkai di dinding rumah.

Surat tanda kehormatan itu, ditujukan kepada Letda Soegeng. "Loh ini kan sama persis dengan yang dimiliki ayah saya. Mereka ini veteran perang," kata Nur menirukan kalimat yang terlontar dari mulut pegawai kecamatan.

Lantas mereka mengundang Kodim 0831, Surabaya. "Wah, akhirnya ramai, banyak yang ke sini. Trus dilakukan bedah rumah itu. Sekarang rumahnya bagus. Dan dua anaknya dibawa ke Liponsos, karena di sini tidak ada yang merawat. Sebelumnya sempat dibawa ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Menur. Karena tidak ada yang tanggung jawab merawat, akhirnya dipindah di Liponsos itu. Satu anaknya lagi meninggal. Tinggal satu itu yang tinggal sama Ibu Astuti," lanjut Nur berkisah.

Sejak saat itu, Astuti banyak dibantu warga sekitar, selain mengandalkan uang pensiun, yang kini hanya Rp 1,3 juta per bulan. Setiap hari, Nur selalu menengoknya, untuk mengetahui kondisi dan kebutuhan sehari-hari yang diperlukan Astuti. "Sekarang yang merawat setiap hari ya Ibu RW (Nur), warga juga ikut bantu-bantu nyumbang," ucap warga yang lain.

Sementara itu, saat ditemui di rumahnya, Astuti dengan tubuh rentanya menyambut dengan senyum ramah. Dengan tongkat kayunya, nenek berusia 77 tahun itu berjalan tertatih-tatih. Perempuan tua yang mengenakan kerudung hitam dan daster batik warna coklat itu berjalan ke sudut ruang tamu, menuju tombol stop contak lampu. Ups, lampunya mati.

Akhirnya, dengan hanya penerangan dari balik ruang tengah, Astuti mengisahkan perjuangannya semasa perang kemerdekaan. Mesti tubuhnya yang renta dan ingatan yang kadang menerawang, dia bercerita cukup baik.

Jam dinding menunjuk pukul 18.15 WIB, nenek Astuti pun memulai ceritanya. "Zaman dulu, tentara Jepang itu sangat kejam. Mereka itu paling kejam dibanding Belanda, siapa saja yang bikin salah langsung dibunuh. Tapi dulu itu, jalan kaki nggak pakai sendal kaki tetap kuat, kalau sekarang, biar pakai sandal atau sepatu, kaki tetap kena beling," cerita dia dengan logat Jawa.

Tubuh renta itu, juga menunjukkan surat tanda kehormatan untuk suaminya dari Presiden Soekarno, yang masih menempel rapi di dinding rumah. "Sekarang ya sudah pensiun. Sejak almarhum Bung Karno tidak lagi memimpin, saya dan suami saya tidak lagi di kesatuan. Kami hidup ya dari uang pensiun, tidak pernah ada bantuan apa-pun dari pemerintah," kata nenek renta itu menerawang.

Di balik surat itu, terdapat tulisan tangan dari almarhum Soegeng, yang ternyata itu adalah nyanyian ciptaannya selama masa perjuangan, berikut fotonya. Lirik lagu itu berjudul "Hiburan Gerilya". Berikut petikan lagunya :
 Di mana aku berada ini
jauh ayah dan ibuku
Kelelahan yang menimpa diri
tak mengenal waktu
Siang malam aku menderita
rintangan silih berganti
Berat senjata yang kubawanya
tetap kusayangi
Tetapi apa dayaku harus menetapi
ibu pertiwi mengharap jasaku
Mengabdi pada nusa dan bangsa
untuk merdeka!!
[mtf]

SBY: Kali pertama menjabat presiden APBN Rp 400 Triliun, Sekarang Rp 1800 Triliun

Pada hari kedua kunjungannya ke Pacitan, Jawa Timur, Rabu (16/10), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meresmikan sejumlah proyek infrastruktur di Pusat Tenaga Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Jawa Timur, Pacitan. Proyek-proyek yang diresmikan itu adalah PLTU 2 Paiton, PLTU 1 Rembang, PLTU 3 Lontar, Gelanggang Olahraga (GOR) dan Stadion Pacitan, Masjid Agung Darul Falah Pacitan, dan proyek-proyek dari Kementrian Pekerjaan Umum.

Dengan menekan tombol sirene dan menandatangani  prasasti, Presiden SBY meresmikan sejumlah proyek tersebut didampingi sejumlah menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, Dirut PLN, dan Gubernur Jawa Timur Soekarwo. Presiden juga melakukan peninjauan di beberapa titik di PLTU 1 Pacitan.


Dalam sambutannya, Presiden SBY  mengapresiasi seluruh pihak yang turut mewujudkan pembangunan proyek-proyek di Pacitan ini. "Saya lahir di Pacitan, sekolah dari SD-SMA di Pacitan, dan setelah itu baru mengembara. Satu lagi kebanggaan Pacitan dibangun. Apresiasi saya sampaikan kepada seluruh pihak yang terus bekerja keras membangun daerah semakin maju," ujar Presiden SBY.
SBY juga bercerita bahwa dulu hampir setiap tahun mengujungi daerah asalnya. Namun setelah menjadi seorang Presiden, lawatan ke Pacitan biasanya dilakukan sekali dalam dua tahun. "Saya minta masyarakat Pacitan untuk sabar, karena saya harus adil memerhatikan saudara-saudara kita di dearah lain di Indonesia. Ketika dua tahun sekali saya berkunjung ke sini, pasti selalu ada kemajuan. Terima kasih untuk semuanya," kata SBY menambahkan.

Dalam kesempatan itu  Presiden SBY,mengungkapkan, saat pertama kali memimpin Indonesia di 2004, nilai belanja APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) mencapai Rp 400 triliun. Tapi saat ini, yaitu di 2013, nilai belanja APBN sudah mencapai Rp 1.800 triliun.
"Pertama kali saya menjabat sebagai Presiden 2004 APBN kita mencapai Rp 400 triliun, saat ini negara ini terus berkembang APBN-nya sekarang hampir mencapai Rp 1.800 triliun. Ini patut kita syukuri," kata SBY dalam sambutannya di acara Peresmian Proyek-Proyek Infrastruktur di Pacitan itu.

SBY mengakui, walau nilai belanja dalam APBN meningkat pesat, namun sebagian besar digunakan untuk membayar utang di masa lalu. "Jumlah itu (APBN) sebagian digunakan untuk membayar pinjaman kita sejak dulu kala, dan sebagian lagi yang jumlahnya tidak kecil yakni untuk subsidi, BBM, pupuk, dan lainnya untuk menolong rakyat kita yang tidak mampu," katanya.

Melalui akun twitternya @SBYudhoyono, Presiden SBY mengatakan, , pada 2004, Indonesia miliki daya listrik 25.100 MW. Sedang pada 2013 naik pesat jadi 46.000 MW. "Mari kita syukuri dan tingkatkan kemajuan ini," tulis Presiden.
Acara peresmian proyek-proyek infrastruktur di Pacitan itu dihadiri pula oleh Menko Kesra Agung Laksono, Mensesneg Sudi Silalahi, Seskab Dipo Alam, Menteri ESDM Jero Wacik, Menteri Kehutanan Zulkilfli Hasan,Menteri PU Djoko Kirmanto, Mendikbud Muhammad Nuh, Menpora Roy Suryo, Menparekraf Mari Elka Pangestu, dan Ketua KEN Chairul Tandjung.
 (Humas Setkab/WID/ES)

Minggu, 13 Oktober 2013

Kisah terbunuhnya dr Kariadi dan pertempuran 5 hari di Semarang

Reporter : Parwito .MERDEKA.COM
Lawang Sewu. wordpress.com
Pertempuran 5 hari di Semarang merupakan rangkaian pertempuran antara rakyat Indonesia melawan tentara Jepang pada masa transisi. Pertempuran yang dimulai pada tanggal 15 Oktober 1945, yang didahului dengan situasi memanas sebelumnya ini berakhir hingga pada tanggal 20 Oktober 1945.

Pertempuran ini dimulai dengan peristiwa tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa pada Pada 1 Maret 1942. Seminggu kemudian, tepatnya pada 8 Maret 1945, pemerintah kolonial Belanda bertekuk lutut dan menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Mulai saat itu, Indonesia diduduki dan dijajah oleh tentara Jepang.

Tiga tahun penjajahan berlangsung, pada Agustus 1945 tentara Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu paska dijatuhkannya bom atom oleh Amerika Serikat di Hiroshima dan Nagasaki. Mengisi kekosongan tersebut, Indonesia melalui Bung Karno dan Bung Hatta, memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.

Kabar berita Proklamasi dari Jakarta akhirnya terdengar hingga sampai ke Kota Semarang. Layaknya terjadi di kota-kota lain, di Semarang rakyat khususnya pemuda-pemudinya berusaha untuk melucuti senjata Tentara Jepang Kidobutai yang bermarkas di Jatingaleh, Semarang.

Tanggal 13 Oktober, suasana semakin mencekam, Tentara Jepang semakin terdesak. Tanggal 14 Oktober, Mayor Kido menolak penyerahan senjata sama sekali. Para pemuda pun marah dan rakyat mulai bergerak sendiri-sendiri. Aula Rumah Sakit Purusara kini menjadi RS Dr Kariadi Semarang, dijadikan markas perjuangan. Para pemuda rumah sakit pun tidak tinggal diam dan ikut aktif dalam upaya menghadapi Jepang. Sementara itu taktik perjuangan pemuda menggunakan taktik perang bergerilya.

Setelah pernyataan Mayor Kido, Pada Minggu, 14 Oktober 1945, pukul 6.30 WIB, pemuda-pemuda rumah sakit mendapat instruksi untuk mencegat dan memeriksa mobil Jepang yang lewat di depan RS Purusara. Mereka menyita sedan milik Kempetai dan merampas senjata mereka. Sore harinya, para pemuda ikut aktif mencari tentara Jepang dan kemudian menjebloskannya ke Penjara Bulu.

Sekitar pukul 18.00 WIB, pasukan Jepang bersenjata lengkap melancarkan serangan mendadak sekaligus melucuti delapan anggota polisi istimewa yang waktu itu sedang menjaga sumber air minum bagi warga Kota Semarang Reservoir Siranda di Candilama, Kota Semarang. Kedelapan anggota polisi istimewa itu disiksa dan dibawa ke markas Kidobutai di Jatingaleh. Sore itu tersiar kabar tentara Jepang menebarkan racun ke dalam reservoir itu. Rakyat pun menjadi gelisah.
Selepas Magrib, ada telepon dari pimpinan Rumah Sakit Purusara, yang memberitahukan agar dr. Kariadi, Kepala Laboratorium Purusara segera memeriksa Reservoir Siranda karena berita Jepang menebarkan racun itu. Dokter Kariadi kemudian dengan cepat memutuskan harus segera pergi ke sana. Suasana sangat berbahaya karena tentara Jepang telah melakukan serangan di beberapa tempat termasuk di jalan menuju ke Reservoir Siranda.
Istri dr. Kariadi, drg. Soenarti mencoba mencegah suaminya pergi mengingat keadaan yang sangat genting itu. Namun dr. Kariadi berpendapat lain, ia harus menyelidiki kebenaran desas-desus itu karena menyangkut nyawa ribuan warga Semarang. Akhirnya drg. Soenarti tidak bisa berbuat apa-apa. Ternyata dalam perjalanan menuju Reservoir Siranda itu, mobil yang ditumpangi dr. Kariadi dicegat tentara Jepang di Jalan Pandanaran.

Bersama tentara pelajar yang menyopiri mobil yang ditumpanginya, dr Kariadi ditembak secara keji. Ia sempat dibawa ke rumah sakit sekitar pukul 23.30 WIB. Ketika tiba di kamar bedah, keadaan dr. Kariadi sudah sangat gawat. Nyawa dokter muda itu tidak dapat diselamatkan. Ia gugur dalam usia 40 tahun satu bulan. Kejadian ini merupakan penyulut utama Perang Lima Hari di Semarang.
Sekitar pukul 03.00 WIB, 15 Oktober 1945, Mayor Kido memerintahkan sekitar 1.000 tentaranya untuk melakukan penyerangan ke pusat Kota Semarang. Sementara itu, berita gugurnya dr Kariadi yang dengan cepat tersebar, menyulut kemarahan warga Semarang. Hari berikutnya, pertempuran meluas ke berbagai penjuru kota. Korban berjatuhan di mana-mana.

Pada 17 Oktober 1945, tentara Jepang meminta gencatan senjata, namun diam-diam mereka melakukan serangan ke berbagai kampung. Pada 19 Oktober 1945, pertempuran terus terjadi di berbagai penjuru Kota Semarang. Pertempuran ini berlangsung lima hari dan memakan korban 2.000 pejuang Indonesia dan 850 orang Jepang. Di antara yang gugur, termasuk dr Kariadi dan delapan karyawan RS Purusara Kota Semarang
[hhw]