|
Soedirman. blogspot.com |
Suatu malam di belantara Jawa tahun 1949. Soedirman terbatuk-batuk
sepanjang malam dalam sebuah pondok reot di tengah hutan. Mantel
lusuhnya tidak mampu menahan udara dingin malam itu. Paru-parunya terus
digerus penyakit TBC yang makin parah.
Di luar pondok, berjaga
belasan pengawal Soedirman. Mereka tahu saat ini sang panglima menjadi
buruan nomor satu pasukan baret merah Belanda, Korps Speciale Troepen
(KST). Nyawa Soedirman dalam bahaya besar.
Tak ada pengawal Soedirman yang tidak meneteskan air mata. Betapa teguh hati jenderal bermantel lusuh yang sakit-sakitan itu.
Soedirman
lahir tahun 1916 di Desa Bantarbarang, Purbalingga, Jawa Tengah.
Awalnya Soedirman adalah guru di sekolah Muhammadiyah. Dia kemudian
mengikuti pendidikan Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor. Soedirman
menjadi Daidancho atau Komandan Batalyon di Kroya. Setelah kemerdekaan,
Soedirman mendapat pangkat kolonel dan memimpin Divisi Y. Dia membawahi
enam resimen di Jatiwangi, Cirebon, Tegal, Purwokerto, Purworedjo dan
Cilacap.
Nama Soedirman bersinar saat pertempuran di Ambarawa.
Dalam pertempuran yang terjadi tahun 1945 itu, Soedirman dan pasukannya
berhasil memukul pasukan Inggris. Dalam sidang tentara, Soedirman
kemudian terpilih menjadi panglima TNI. Soedirman memikul tanggung jawab
besar. Mempertahankan kemerdekaan RI dari kemungkinan ancaman agresi
militer Belanda.
Agresi Militer Belanda II tanggal 19 Desember
1948 sukses menduduki Yogyakarta yang saat itu menjadi ibukota Republik
Indonesia. Gabungan pasukan baret hijau dan baret merah Belanda merebut
Yogya hanya dalam hitungan jam. Mereka pun menangkap para pimpinan
republik. Soekarno, Hatta, Sjahrir dan hampir seluruh pejabat negara
saat itu.
Tapi Soedirman tidak mau menyerah. Dia menolak
permintaan Soekarno untuk tetap tinggal di Yogyakarta. Saat itu ada
perbedaan pendapat antara pemimpin sipil dan pemimpin militer. Soedirman
memilih masuk hutan. Memimpin pasukannya dari belantara hutan dan
mengorbankan perlawanan semesta sesuai perintah siasat nomor satu.
Soedirman
memerintahkan seluruh prajurit TNI untuk membentuk kantong-kantong
gerilya. Mundur dari daerah perkotaan yang dikuasai Belanda dan bersiap
untuk bergerilya dalam waktu yang panjang.
Dimulailah perjalanan
legenda itu. Panglima tertinggi TNI dengan paru-paru sebelah, dan tubuh
sempoyongan bergerilya keluar masuk hutan. Mengorganisir anak buahnya
dan membuktikan TNI masih ada.
Ibukota negara boleh jatuh,
presiden boleh ditawan, tapi TNI tidak pernah menyerah. Benteng terakhir
republik ada dalam hati para prajurit.
Kondisi kesehatan
Soedirman terus memburuk. Akhirnya dia terpaksa ditandu. Konon, setiap
prajurit berebutan mengangkut tandu sang jenderal itu. Mereka semua
merasa haru melihat sosok Pak Dirman.
Pasukan baret merah Belanda
selalu gagal menangkap Soedirman. Berkali-kali pasukan kebanggaan
Jenderal Spoor ini harus pulang dengan tangan hampa saat memburu
Soedirman.
Perjuangan Soedirman tidak sia-sia. Berbagai serangan
yang dilakukan TNI mampu mendesak Belanda duduk ke meja perundingan.
Hingga akhirnya Belanda setuju untuk meninggalkan Yogyakarta.
Maka
Soedirman kembali ke Yogyakarta. Resimen-resimen TNI berbaris
menyambutnya. Mereka tidak kuasa menahan haru melihat tubuh kurus yang
berbalut mantel seperti milik petani itu. Para prajurit tahu hanya
semangat yang membuat Pak Dirman tahan bergerilya berbulan-bulan.
Mata
para prajurit yang berbaris rapi itu basah oleh air mata. Dada mereka
sesak saat memberikan penghormatan bersenjata pada Soedirman.
Semua
tahu, gerilya yang dilakukan Soedirman besar artinya untuk Republik
Indonesia. Jika Soedirman tidak bergerilya dan melakukan serangan pada
Belanda, maka dunia internasional akan percaya propaganda Belanda bahwa
republik sudah hancur. Tanpa gerilya, Indonesia tidak akan mungkin punya
suara dalam perundingan Internasional.
Di depan istana Presiden
Yogyakarta, Soekarno merangkul Soedirman. Soekarno sempat mengulangi
pelukannya karena saat pelukan pertama tidak ada yang memotret momen
itu. Momen ini penting artinya, pertemuan keduanya seakan menghapus
perbedaan pendapat antara pemimpin sipil dan militer.
Soedirman
meninggal 29 Januari 1950. Saat merah putih sudah berkibar di seluruh
pelosok nusantara, Soedirman tidak hidup cukup lama untuk melihat hasil
perjuangannya.
[ian]